Pertama, saya
ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pencipta lagu “Kupu-Kupu
Malam”, Titiek Puspa, atas karyanya tersebut. Saya juga ingin mengucapkan rasa
terimakasih yang sebesar-besarnya pada Nazril Irham (Ariel), karena saya
pertama mendengar lagu ini setelah dibawakan oleh Ariel saat saya duduk di
bangku SMP, di masa kejayaan Peterpan.
Kedua,
tulisan ini tidak mewakili organisasi maupun kelompok manapun. Tulisan ini
tidak mewakili suku, ras, maupun agama manapun. Murni pendapat pribadi saya.
Jadi ya ini sesuai standar moral yang saya anut dan saya percayai. Silakan
disimak.
Ketika
duduk di bangku SMP, saya merasa biasa-biasa saja ketika mendengar lagu ini
meskipun saya tahu bahwa frasa “Kupu-Kupu Malam” adalah sebuah frasa halus pada
Pekerja Seks Komersial alias PSK. Saat duduk di bangku SMP, saya memandang
wanita yang memilih bekerja sebagai PSK adalah wanita “malas” yang ingin kerja
enak tapi dapat uang yang banyak. Ternyata pemikiran saya tersebut saya anggap
salah.
Kenapa
salah?
Memasuki
kepala tiga, permasalahan “Kupu-Kupu Malam” adalah sebuah permasalahan kompleks
yang sulit dicari jalan keluarnya jika kita melihatnya dari sudut pandang
moralitas agama. Sebab, setahu saya, agama manapun melarang praktik prostitusi,
apapun bentuknya.
Memasuki
kepala tiga, para “Kupu-Kupu Malam” bukanlah sekumpulan wanita “malas” yang ingin
hidup enak mencari nafkah dengan mudah, yakni dengan hanya menjual tubuhnya
saja. Saya rasa, sebagian besar “Kupu-Kupu Malam” terjebak di dalam lingkaran
setan bernama kemiskinan struktural.
Pernah
nonton film Taken yang dibintangi Liam Neeson? Seperti itulah kira-kira ilustrasinya. Ada yang
diculik saat remaja dan dipaksa bekerja sebagai “Kupu-Kupu Malam” karena
dijanjikan pekerjaan di kota besar. Mereka bisa tertipu begitu pun karena
mereka umumnya berasal dari desa/kota kecil tanpa sempat mengenyam pendidikan
tinggi sehingga mudah ditipu. Ada juga yang terpaksa menjadi “Kupu-Kupu Malam”
karena keadaan. Cari kerja susah, bukan? Sekalipun kita punya kecerdasan
seperti Albert Einstein, tidak semua orang punya skill komunikasi yang bagus
untuk dapat bekerja di korporasi besar.
Saya
pernah membaca sebuah liputan investigasi yang menyebut bahwa, salah satu “Kupu-Kupu
Malam” terpaksa bekerja seperti itu karena keadaan. Kedua orang tuanya telah
meninggal. Ia pun tidak kunjung memiliki pekerjaan karena ia tidak sempat
mengenyam pendidikan tinggi. Ia pun tidak memiliki keahlian apapun, sedangkan
ia punya sejumlah saudara kandung untuk diberi makan. Terlebih, salah satu saudara
kandungnya sudah lama meninggal dunia karena overdosis narkoba. Kira-kira
seperti itu kisah singkatnya.
“Tapi
kan ia bisa bekerja sebagai ART (asisten rumah tangga) atau buruh cuci piring,
atau melakukan pekerjaan halal lainnya?”
Memang
betul, ia bisa menjadi ART atau buruh. Tapi seperti mencari pekerjaan seperti
ART atau buruh cuci itu tidak mudah, lho! Sekalipun dapat, upahnya mun tidaklah
besar. Banyak “Kupu-Kupu Malam” yang terpaksa bekerja di sekotr ini karena
terjebak dalam lingkaran hutang dan melakukan pekerjaan tersebut untuk melunasi
hutang.
Lebih
parah lagi, banyak “Kupu-Kupu Malam” yang terpaksa melakoni pekerjaan tersebut untuk
sekadar dapat bertahan hidup. Beberapa tahun yang lalu, saya membaca liputan
investigasu jurnalistik yang bercerita bahwa banyak “Kupu-Kupu Malam” yang
bersedia dibayar beberapa puluh ribu Rupiah saja supaya ia bisa makan pada hari
itu, sampai-sampai membuat Wali Kota Surabaya saat itu, Tri Rismaharini
menangis.
“Kupu-Kupu
Malam” tersebut bersedia dibayar beberapa puluh ribu Rupiah karena memang
target pasarnya adalah para pekerja kasar seperti sopir truk atau tukang becak.
Mereka bukan “Kupu-Kupu Malam” kelas atas yang biasa melayani (oknum) pejabat
pemerintahan atau pengusaha yang bisa dibayar puluhan juta setiap kali jasanya
digunakan.
Risiko
yang dihadapi para “Kupu-Kupu Malam”
Ok, meme
di atas hanyalah lelucon ya.
On a
serious note, banyak yang berpikir, menjadi “Kupu-Kupu Malam” itu enak. Kasarnya,
cuma tinggal “ngangkak” atau “nungging”. Padahal, menjadi “Kupu-Kupu Malam” itu
sangatlah sulit. Para “Kupu-Kupu Malam” menghadapi banyak risiko, mulai dari
risiko penularan penyakit seksual, tindakan kekerasan, bahkan pembunuhan. Tidak
sedikit dari “Kupu-Kupu Malam” yang dipukuli pelanggan, entah karena fetish
pelanggannya yang seperti itu atau memang tidak puas dengan layanan para “Kupu-Kupu
Malam” tersebut.
“Kadang
dia tersenyum dalam tangis
Kadang
dia menangis di dalam senyuman”
Kembali
ke lagu “Kupu-Kupu Malam” karya Titiek Puspa, menjadi “Kupu-Kupu Malam” jauh
lebih dari itu. Dua kalimat di atas bisa membuat siapa saja yang mendengarnya
menangis. Para wanita yang menjadi “Kupu-Kupu Malam” itu memang tidak punya
pilihan lain karena somehow, “Tuhan AFK dan tidak menolong mereka” sama seperti
“Tuhan yang diam saja melihat jutaan manusia terbunuh begitu saja dalam
peperangan di Palestina, Lebanon, maupun negara Afrika lainnya”.
“Dosakah
yang dia kerjakan?
Sucikah
mereka yang datang?”
Saya
yakin, sebagian besar dari “Kupu-Kupu Malam” itu bekerja karena keadaan yang
memaksa mereka jadi seperti itu. Tidak semua orang terlahir dari keluarga
bahagia dan serba berkecukupan harta. Tidak semua orang sempat mengenyam
pendidikan tinggi sehingga punya pemikiran yang cerdas dan cemerlang. Sama
seperti Arthur Fleck dalam film Joker (2019) atau William Foster dalam film Falling Down
(1993)
“Kupu-Kupu
Malam” yang sekali menjajakan jasa dibayar puluhan juta agar bisa membeli
iPhone terbaru atau makan di fancy restaurant itu jumlahnya sedikit. Mereka itu
target pasarnya memang (oknum) pejabat atau penguasa kaya raya. Saya yakin,
sebagian besar “Kupu-Kupu Malam” itu ya melakukan pekerjaan tersebut hanya
untuk dapat bertahan hidup. Supaya saudara kandung mereka bisa sekolah. Supaya
anak-anak mereka dapat bersekolah dan tidak bernasib seperti mereka.
Apa? Mereka
berdosa? Ya memang dosa. Semua manusia tak ada yang hidup tanpa dosa kecuali
para Nabi dan Rasul. Lagian, mereka pun pastinya sudah berusaha keras mencari
pekerjaan halal dan berdoa dengan keras, tapi tak kunjung “dikabulkan Tuhan”
sehingga mereka terpaksa melakukan hal tersebut, layaknya orang-orang di Afrika
yang “tak ditolong Tuhan”.
Makanya,
saya sangat setuju dengan pendapat Pandji Pragiwaksono agar Pemerintah membuat
prostitusi legal. Bisa kalian simak di video di atas ya!
Oh
iya, ada yang pernah nonton film Pretty Woman (1990) yang dibintangi Julia
Roberts dan Richard Gere? Nah, gak semua orang seberuntung Julia Roberts dalam
film itu, di mana ia yang berperan sebagai “Kupu-Kupu Malam” ditolong oleh
pengusaha kaya raya dan tampan agar bisa keluar dari lingkaran setan “Kupu-Kupu
Malam”. Cerita semacam itu hanya ada dalam film. Kalaupun ada di dunia nyata,
mungkin probabilitasnya 1 banding 10 juta saja. Kalaupun saya ada posisi
seperti Richard Gere dalam film tersebut, apakah saya akan melakukannya? Saya
sendiri tidak yakin.
0 Comments