Selama lebih dari tiga dekade saya hidup, Ramadan hanyalah bulan biasa yang saya jalani seperti bulan-bulan lainnya. Ia berlalu begitu saja. Jauh sebeum akil baligh, kira-kira sejak saya duduk di kelas 4 SD, saya bisa straight melakukan ibadah puasa (baca: sekadar menahan lapar dan haus) selama 30 hari penuh. Saya hampir gak pernah sakit saat Ramadan selama lebih dari dua dekade. Sekalipun sakit, saya selalu memaksakan diri untuk sekadar menahan lapar dan haus agar tidak usah direpotkan membayar hutang puasa tersebut yang harus dibayar berdasarkan syariat agama.

Nahan lapar dan haus doang mah gampang!

Sekadar menahan lapar dan haus itu sangatlah gampang bagi saya. Sejak saya SMP, melakukan kegiatan olahraga seperti berlatih karate, gym, maupun cardio seperti lari dan bersepeda mampu saya lakukan di sore hari sebelum berbuka puasa. Bahkan, saat saya duduk di bangku kuliah, saya dan teman-teman saya mampu mendaki Gunung Puntang (2.223 mdpl), di mana saat itu saya sahur di basecamp, tidur sebentar selepas subuh, melakukan pendakian hingga siang hari, dan tiba di kaki gunung pada sore hari menjelang waktu berbuka puasa. Saya juga hampir selalu rutin melakukan donor darah di bulan Ramadan sejak 15 tahun yang lalu, yang saya lakukan pada siang bolong.

Baca tulisan saya di Mojok: Boleh Nggak sih Kita Donor Darah Saat Puasa?

Sejatinya, puasa itu harusnya kan menjadikan siapapun yang menjalankannya bisa punya pribadi yang lebih baik. Lebih bisa menahan amarah, lebih bisa menjaga lisan, serta lebih bisa sabar dalam menjalani cobaan hidup. Kenyataannya? Saya masih sering mengumpat, mulai dari mengumpat pada pemerintah, mengeluhkan cuaca yang panas atau hujan, mengeluhkan macetnya lalu lintas, hingga mengumpat pada hal-hal lainnya.

Apalagi Ramadan 2025 ini sangatlah berbeda dengan puluhan Ramadan yang sudah saya lalui. Vibesnya sangatlah berbeda karena beberapa tahun ini dunia dilanda pandemi Covid-19, resesi ekonomi global, deflasi, penurunan daya beli, hingga penurunan IHSG. Untuk pertama kalinya saya menyaksikan ada begitu banyak pedagang makanan khas Ramadan yang berjualan di sekitar saya, namun yang beli sangatlah sedikit. Sebagian besar dari pedagang makanan tersebut bahkan masih menyisakan banyak barang dagangannya hingga selepas tarawih. Sight, no wonder kan saya banyak marah-marah di bulan Ramadan?

Lagian, secara fiqih, marah-marah tidak membatalkan puasa, karena yang membatalkan puasa adalah hal-hal yang secara langsung membatalkan kondisi fisik puasa, seperti makan, minum, berhubungan suami-istri, muntah dengan sengaja, dan sebagainya. Marah-marah itu “haya sekadar” mengurangi pahala puasanya saja.

Bagi saya, Ramadan tak ada bedanya dengan bulan-bulan lainnya. Saya tetap bekerja ketika waktunya bekerja, saya olahraga ketika waktunya olahraga, dan saya pun nongkrong ketika waktunya nongkrong. Bedanya hanya gak makan dan minum di siang hari saja. Tidak ada peningkatan ketaqwaan sama sekali. Saya masih banyak melakukan dosa dan tak ada upaya untuk meningkatkan ketaqwaan seperti getol mengejar Lailatulqadar  di Masjid atau sekadar shalat tarawih.

Mungkin, hanya bisa dapat sehatnya saja...

On the bright side, ada satu hal dari Ramadan demi Ramadan yang saya dapatkan. Yakni sisi kesehatan. Meta-analisis tentang puasa Ramadan sudah banyak. Studi meta-analisis menunjukkan bahwa puasa Ramadan berkontribusi pada kesehatan kardiovasklar, metabolisme, dan keseimbangan hormon.

Di luar Ramadan pun, saya melakukan puasa juga. Yakni intermittent fasting yang saya lakukan minimal 12 jam. Rata-rata saya melakukan intermittent fasting sekitar 15-16 jam. Dengan kata lain, hampir gak ada bedanya puasa Ramadan dan hari-hari di luar Ramadan. Hanya waktunya saja yang ditukar. Meskipun secara teknis, intermittent fasting itu jauh lebih mudah karena masih bisa minum minuman berkalori nol.

Selain itu, di bulan Ramadan saya cukup menjaga asupan makanan dan minuman yang masuk saat sahur dan berbuka puasa. Antara lain, mengontrol asupan gula yang saya konsumsi, mengontrol asupan gorengan yang saya konsumsi, serta meningkatkan konsumsi buah-buahan murni tanpa gula tambahan maupun sayuran, sama seperti yang selama ini saya lakukan di luar Ramadan. Jadi dari sisi kesehatan, selama lebih dari dua dekade, manfaatnya sudah saya rasakan.

Apakah saya ingin menjadi pribadi yang lebih baik? Tentu saja. Namun sebagai manusia biasa, saya masih kesulitan mengatur emosi dan kondisi psikologis diri saya sendiri karena terlalu banyak masalah internal maupun eksternal  yang harus saya hadapi, yang sudah saya jabarkan di atas. Pada akhirnya, Ramadan hanyalah sekadar rutinitas, hanyalah sekadar bulan yang saya lalui begitu saja tanpa ada perubahan signifikan sama sekali. Mudah-mudahan, Ramadan berikutnya jika saya masih diberi kesempatan, saya bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi seiring dengan semakin membaiknya keadaan internal dan eksternal diri saya sendiri, terutama pada aspek ekonomi.